Kata Batik berasal dari bahasa Jawa mbat yang berarti “memainkan” dan tik yang artinya “memberi titik”. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak (menggunakan canting atau cap) dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna corak yang dikenal dengan “malam” atau wax, yang diaplikasikan di atas kain sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dikenal dengan teknik wax-resist dyeing). Jadi kain batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna. Kain yang pembuatan corak dan pewarnaannya tidak menggunakan teknik ini dikenal dengan kain bercorak batik (biasanya dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak/print) bukan kain batik.
Batik adalah kerajinan yang memilki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan, sampai ditemukannya teknik “batik cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada pengecualian di beberapa daerah pesisir, pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Pencipta ragam hias batik tradisional tidak hanya sekedar menciptakan bentuk-bentuk untuk mencapai keindahan semata, tetapi memiliki makna atau arti yang erat hubungannya dengan falsafah hidup yang mereka hayati. Mereka menciptakan sesuatu ragam hias dengan pesan dan harapan yang tulus dan luhur semoga akan membawa kebaikan serta kebahagiaan bagi si pemakai. Ini semua dilukiskan secara simbolis dalam motif / ragam hias dan warna.
Ragam hias dapat dikelompokkan menjadi:
- Berdasarkan golongan: ragam hias geometris dan non geomatris
- Berdasarkan tempat pembuatannya: motif pesisiran, dan Solo-Jogja
- Berdasarkan unsur-unsurnya: ragam hias utama dan isen-isen
- Berdasarkan tujuannya: bermakna dan tidak bermakna
- Berdasarkan fungsinya: praktis dan religius
Dalam perkembangannya batik memilki keterkaitan kuat dengan seni wayang, tari dan lagu. Karena itu ragam hias batik Indonesia memiliki ciri yang terkait dengan komunitas pembuatnya, sebagian menggambarkan suasana zaman, merekam alam sekitar, dan diproduksi untuk keperluan komersial tetapi sebagian yang lain memenuhi kebutuhan adat dan tradisi.
Pengakuan UNESCO (United Nations Eductional, Scientific, and Cultural Organization) akan membawa tanggung jawab kepada pemerintah dan komunitas untuk sungguh memperhatikan batik, termasuk pewarisan kepada generasi baru, memastikan dipenuhinya hak pembatik, dan pembuatannya tidak merusak lingkungan.
Pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO telah secara resmi mengukuhkan batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia (World Heritage) melengkapi ketujuh warisan dunia lain milik Indonesia yang telah ditetapkan UNESCO sebelumnya, yaitu: Komodo, Hutan Tropis, Situs Purbakala Sangiran, Candi Borobudur dan Prambanan serta Wayang Kulit dan Keris.
Batik Indonesia yang ditetapkan tersebut bukanlah motifnya melainkan nilai estetikanya yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Diharapkan seiring dengan penetapan batik sebagai warisan budaya dunia, masyarakat dapat semakin menghargai dan mendukung kelestariannya.
Keberadaan batik di Indonesia diyakini telah hadir sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Oleh karena kain batik dapat rusak sehingga terdapat peninggalan sebagai barang purbakala, maka untuk meneliti dna menganalisa motif batik pada zaman dulu, dipakai analogi perbandingan melalui seni-kebudayaan lain, hal ini sesuai pula dengan teori Dr. J. Brandes yang menyatakan: Batik berasal dari zaman yang sama dengan gamelan, wayang, syair, barang-barang dari logam, pelayaran, ilmu falak dan pertanian. Serupa dengan teori tersebut adalah gagasan Van Leur mengenai 10 unsur kebudayaan asli Indonesia yaitu: kemampuan berlayar, kepandaian bersawah, astronomi, mengatur masyarakat, sistem macapat, wayang, gamelan, batik, seni logam dan perdagangan.
Dari benda-benda tersebut dapatlah kita berpendapat bahwa batik merupakan hasil kebudayaan Indonesia. Hal ini disebabkan pola-pola batik telah diketemukan lagi pada benda-benda peninggalan masa lalu, bahkan dari masa prasejarah. Pada masa klasik (dari abad VII – XV M) dapat dilihat pada relief candi misalnya: Borobudur, Prambanan; pada prasasti dibuktikan dengan adanya penyebutan mengenai hadiah kain; pada arca dicontohkan dengan koleksi replika Dwarapala yang mengenakan kain dengan pola hias. Sisa peninggalan dari masa setelah masuknya kebudayaan Islam lebih lengkap dan beraneka ragam, mulai dari kain batiknya sendiri, penerapan pola hiasnya pada berbagai benda keperluan sehari-hari, sampai kepada penerapannya untuk menuliskan naskah kidung di atas kain. Tidak kalah penting pola hias orang membatik, memintal yang ada pada mata uang RI. Sumber-sumber tertulis berupa naskah berbahasa dan beraksara Jawa tentang batik. Pada perkembangannya teknik membatik digunakan untuk melukis. Maka tidaklah salah jika kita harus mempertahankan batik bagi negara kita.
Sumber: “Buku Katalog Pameran Batik Koleksi Museum Sonobudoyo Jogja Tahun 2009”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar